Ketika Teori Fiskal Lupa Pada Hukum
Argumen utama dalam tulisan Emi Hidayati, yaitu bahwa pembentukan Dana Abadi Daerah (DAD) bisa (dan seharusnya) dilakukan untuk memperkuat kemandirian fiskal daerah melalui pengelolaan aset daerah atau sumber ekonomi daerah yang potensial — termasuk, dalam konteks Banyuwangi, hasil dari investasi di PT Merdeka Copper Gold (MCG).
Tentu saja argumen itu bernuansa kontradiktif:
1. Permenkeu No. 64 Tahun 2024 secara tegas menyebut bahwa sumber DAD harus berasal dari:
- Surplus APBD (selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran),
- Hasil efisiensi belanja daerah, atau
- Pengelolaan aset daerah yang sudah tercatat dalam APBD sebelumnya.
Artinya, hanya dana atau aset yang sudah sah dan masuk sistem keuangan daerah secara legal dan terverifikasi yang boleh dijadikan sumber DAD.
2. Argumen dalam tulisan Emi justru memberi kesan seolah DAD bisa dibentuk dari hasil investasi atau aset daerah yang “masih dalam proses”—termasuk dari saham Pemkab Banyuwangi di PT MCG yang status dan nilainya masih diperdebatkan (terutama setelah perubahan golden share menjadi saham biasa).
3. Jadi, ketika tulisan Emi bicara tentang “optimalisasi aset daerah” untuk membentuk DAD tanpa membahas keabsahan sumber dan prosedur akuntabilitasnya, di titik itulah “argumentasinya kehilangan pijakan” normatif.
Sebab Permenkeu No. 64 Thn 2024 menuntut dasar legal dan sumber yang telah diakui dalam APBD sebelumnya — bukan aset yang masih dalam sengketa, delusi, atau belum tercatat.
Dengan kata lain secara teoritis, pandangan Emi tentang pentingnya DAD itu logis. Tapi secara regulatif, tidak memenuhi syarat sumber dana yang sah menurut Permenkeu No 64 Thn 2024.
Kalimat “argumentasi itu kehilangan pijakan” merujuk pada ketidaksesuaian antara teori fiskal yang diusung Emi dan batasan hukum aktual tentang sumber dana DAD.[]

