Manusia Menjadi Tuhan

“Manusia menjadi Tuhan” menggambarkan potensi manusia untuk berkembang ke tingkat moral, spiritual, dan intelektual yang lebih tinggi. Erich Fromm dalam Man for Himself dan To Have or To Be menjelaskan, manusia memiliki kemampuan untuk menjadi “Tuhan” dalam arti menciptakan nilai-nilai yang baik, hidup secara kreatif, mencintai tanpa syarat, dan menggunakan akalnya untuk membangun dunia yang lebih manusiawi.

Ini bukan tentang manusia mengambil alih peran Tuhan sebagai pencipta alam semesta, tetapi lebih kepada manusia yang merealisasikan sifat-sifat ilahi yang mencerminkan cinta, empati, dan integritas.

Proses ini melibatkan kebebasan, keberanian, dan tanggung jawab untuk menjadi pribadi yang otentik, bukan terbelenggu oleh norma atau materialisme.

Menciptakan Nilai-Nilai yang Baik

Manusia memiliki kemampuan unik untuk menciptakan dan menegakkan nilai-nilai yang tidak hanya melayani kepentingan individu tetapi juga masyarakat secara keseluruhan. Nilai-nilai seperti keadilan, cinta kasih, empati, dan tanggung jawab adalah inti dari evolusi moral manusia. Dalam konteks ini, manusia “menjadi Tuhan” ketika mereka berperan sebagai pencipta kebaikan, seperti halnya Tuhan yang sering dipahami sebagai sumber segala kebaikan. Dalam kehidupan sehari-hari, ini bisa berarti memilih untuk memperlakukan semua orang dengan hormat, mendukung keadilan sosial, dan berkontribusi pada kebijakan atau proyek yang mendukung kesejahteraan masyarakat.

Hidup Secara Kreatif

Kreativitas adalah cara manusia melampaui rutinitas dan menciptakan sesuatu yang membawa makna baru—baik itu dalam seni, teknologi, atau penyelesaian masalah. Dari sudut pandang Fromm, hidup secara kreatif berarti menjadi pelaku aktif dalam kehidupan, bukan hanya menjadi penonton pasif. Kreativitas ini bukan hanya keterampilan, tetapi cara berpikir dan melihat dunia. Ini bisa diaplikasikan dengan menemukan solusi inovatif untuk masalah komunitas, seperti proyek smart village di Desa Tambe, atau dengan mengekspresikan diri melalui seni atau tulisan yang memiliki dampak.

Mencintai Tanpa Syarat

Cinta yang dimaksud Fromm adalah jenis cinta universal yang melampaui hubungan romantis. Ini mencakup cinta kepada sesama manusia, kepada alam, dan kepada kehidupan itu sendiri. Cinta semacam ini membutuhkan kepekaan, perhatian, dan rasa tanggung jawab terhadap kesejahteraan orang lain. Dalam lingkup spiritual, mencintai tanpa syarat dapat diwujudkan melalui dedikasi kepada komunitas, seperti mengajarkan nilai-nilai kasih sayang dan persatuan, atau dalam refleksi pribadi untuk menghindari egoisme.

Menggunakan Akal untuk Membangun Dunia yang Lebih Manusiawi

Akal adalah salah satu kemampuan tertinggi manusia yang memungkinkannya untuk memahami dunia, memecahkan masalah kompleks, dan menciptakan sistem yang lebih adil dan berkelanjutan. Dalam pengertian ini, menjadi Tuhan berarti menggunakan akal bukan untuk menaklukkan, melainkan untuk melayani. Salah satu cara jelas untuk mengimplementasikan ini adalah menggunakan teknologi dan ilmu pengetahuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, yang memadukan teknologi dengan nilai-nilai tradisional dan kemanusiaan.

Nilai spiritual dari gagasan “manusia menjadi Tuhan” menurut Erich Fromm terletak pada proses transformasi diri yang melibatkan kesadaran, cinta, dan tanggung jawab. Meskipun ia membahasnya dari sudut pandang humanis, gagasan ini memiliki resonansi mendalam dengan spiritualitas.

Pencarian Makna Hidup

Gagasan ini mengundang manusia untuk menemukan tujuan dan makna hidup yang lebih tinggi. Dalam pandangan spiritual, ini mirip dengan perjalanan pencarian diri (self-discovery) atau bahkan perjalanan menuju Tuhan. Proses ini membutuhkan refleksi yang mendalam dan keterbukaan terhadap pertumbuhan jiwa.

Kebebasan dan Tanggung Jawab

Menurut Fromm, manusia memiliki kebebasan untuk memilih menjadi versi terbaik dari diri mereka sendiri. Dalam spiritualitas, kebebasan ini sering dikaitkan dengan kehendak bebas (free will) yang diberikan oleh Tuhan, namun tanggung jawab atas pilihan adalah inti dari kedewasaan spiritual.

Cinta Tanpa Syarat (Unconditional Love)

Fromm melihat cinta sebagai kekuatan yang menghubungkan manusia satu sama lain dan dengan dunia. Dalam spiritualitas, cinta sering dianggap sebagai esensi Tuhan dan jalan menuju pencerahan atau kebijaksanaan tertinggi.

Keselarasan dengan Alam Semesta

Dari sudut pandang spiritual, tindakan manusia yang menciptakan kebaikan, keindahan, dan harmoni mencerminkan keselarasan dengan hukum alam semesta atau kehendak ilahi. Ini menciptakan rasa “keberadaan yang suci” dalam setiap tindakan positif manusia.

Transformasi Diri dan Penyucian Jiwa

Gagasan Fromm mendorong manusia untuk meninggalkan egoisme dan materialisme, menuju hidup yang lebih mendalam dan bermakna. Dalam spiritualitas, ini bisa disejajarkan dengan penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs) dan pencapaian tingkat spiritual yang lebih tinggi.

DALAM Islam, konsep “manusia menjadi Tuhan” sebagaimana memiliki padanan yang berbeda secara terminologi, namun ada nilai-nilai yang serupa terkait dengan potensi manusia untuk berkembang secara moral, spiritual, dan intelektual.

Manusia sebagai Khalifah di Bumi

Dalam Al-Qur’an, manusia disebut sebagai khalifah atau pemimpin di bumi (QS Al-Baqarah: 30). Ini menandakan bahwa manusia memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga keseimbangan, menciptakan keadilan, dan melestarikan kehidupan di bumi. Ini selaras dengan ide menciptakan nilai-nilai yang baik dan bertindak secara kreatif demi kebaikan bersama.

Tazkiyah An-Nafs (Penyucian Jiwa)

Islam mendorong manusia untuk menyucikan dirinya dari sifat-sifat buruk seperti kesombongan, keegoisan, dan ketamakan, agar mencapai keutamaan moral dan spiritual. Proses ini mirip dengan transformasi diri yang disebutkan Fromm, di mana manusia menjadi lebih cinta kasih, bertanggung jawab, dan harmonis.

Akhlaqul Karimah (Budi Pekerti Mulia)

Rasulullah SAW diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia (akhlaq). Mencintai tanpa syarat, berbuat baik kepada sesama, dan menegakkan keadilan adalah bagian dari akhlak mulia. Nilai ini sangat dekat dengan cinta universal yang diungkapkan Fromm.

Pencarian Ilmu dan Penggunaan Akal

Islam sangat menekankan pentingnya mencari ilmu dan menggunakan akal untuk memahami dunia dan mendekatkan diri kepada Allah. Dalam Islam, akal adalah anugerah ilahi yang harus digunakan untuk kebaikan, mencerminkan tugas manusia untuk membangun dunia yang lebih manusiawi.

Taqarrub Ilallah (Pendekatan kepada Allah)

Dalam spiritualitas Islam, manusia diajak untuk mendekat kepada Allah melalui ibadah, doa, dan perbuatan baik. Proses ini bertujuan untuk mencapai derajat ihsan, yaitu merasa seolah-olah melihat Allah dalam segala tindakan kita, atau setidaknya merasa selalu diawasi oleh-Nya.

Jadi manusia sebagaiman dikatakan Fromm tidak dianggap “menjadi Tuhan” dalam arti literal atau menggantikan peran Tuhan, melainkan sebagai ciptaan yang diberi kehormatan dan tanggung jawab untuk meneladani sifat-sifat Allah (asmaul husna) seperti Rahman (Maha Pengasih), Rahim (Maha Penyayang), dan Adil (Maha Adil) dalam batas kapasitas manusia.

DAN dengan dengan konsep “ditiupkannya roh” dalam diri manusia memberikan gambaran potensi manusia menjadi makin spiritual. Dijelaskan dalam Al-Qur’an, misalnya dalam QS. Al-Hijr: 29 dan QS. As-Sajdah: 9, yang menyebutkan bahwa Allah meniupkan sebagian dari roh-Nya ke dalam manusia, memberikan manusia kedudukan istimewa sebagai makhluk dengan kapasitas spiritual, intelektual, dan moral yang unik.

Potensi Spiritual

Manusia memiliki koneksi langsung dengan Tuhan karena asal usul roh ini bersifat ilahi. Ini memberi manusia kemampuan untuk merasakan Tuhan, beribadah dengan khusyuk, dan mengembangkan kesadaran spiritual yang mendalam.

Kemampuan Akal dan Pikiran

Tiupan roh juga melengkapi manusia dengan akal yang mampu merenung, memahami, dan menciptakan. Potensi intelektual ini memampukan manusia untuk mengenal ciptaan Allah, memahami wahyu, dan mencari kebenaran.

Tanggung Jawab Sebagai Khalifah

Dengan roh ini, manusia dipilih sebagai khalifah di bumi. Artinya, manusia memiliki tanggung jawab moral dan etis untuk menjaga keadilan, kedamaian, dan keseimbangan dalam kehidupan.

Kebebasan dan Kehendak

Tiupan roh memberikan manusia kehendak bebas (free will), sehingga manusia bisa memilih jalan kebaikan atau jalan keburukan. Namun, manusia juga diberi tanggung jawab penuh atas pilihan-pilihan tersebut.

Kesadaran tentang Keabadian

Sebagian ulama memahami bahwa roh adalah sesuatu yang abadi, sehingga manusia memiliki kesadaran akan kehidupan setelah mati. Ini memotivasi manusia untuk hidup dengan tujuan yang lebih tinggi dan melampaui materialisme semata.

Konsep ini tidak hanya menjelaskan kemuliaan manusia dalam penciptaan, tetapi juga menjadi dasar dari tanggung jawab etis dan spiritual manusia dalam kehidupan.

QS. Al-Hijr: 29, “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” Ayat ini menegaskan bahwa manusia menerima roh yang merupakan anugerah langsung dari Allah, menjadikannya makhluk yang mulia di antara ciptaan lainnya.

QS. As-Sajdah: 9, “Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.” Ini menunjukkan bahwa roh yang ditiupkan membawa potensi akal, kesadaran, dan kemampuan spiritual yang unik.

QS. Al-Baqarah: 30, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’” Ayat ini menunjukkan tanggung jawab manusia sebagai pemimpin yang ditunjuk Allah untuk menjaga bumi dan hidup selaras dengan kehendak-Nya.

Dari Abdullah bin Mas’ud RA, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya setiap kamu dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya selama empat puluh hari berupa nutfah, kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga, kemudian menjadi segumpal daging selama itu juga. Lalu Allah mengutus malaikat untuk meniupkan roh ke dalamnya…” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini menunjukkan proses penciptaan manusia yang melibatkan tiupan roh oleh malaikat atas perintah Allah, yang memberikan kehidupan serta potensi spiritual kepada manusia.

Rasulullah SAW bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya…” (HR. Bukhari dan Muslim) Ini menggarisbawahi tanggung jawab manusia sebagai khalifah yang harus menjalankan amanah Allah dengan penuh kebijaksanaan.

Ayat-ayat dan hadis ini menggarisbawahi keistimewaan manusia sebagai makhluk yang diberi roh, akal, dan tanggung jawab. Hal ini juga selaras dengan eksplorasi filosofis dan spiritualmu tentang bagaimana manusia dapat memenuhi potensi terbaik mereka.

NAMUN kondisi saat ini dan menjadi problem manusia modern bertentangan dengan nilai-nilai Islam—seperti alienasi, materialisme ekstrem, dan kehilangan makna hidup—sering kali dipandang sebagai “penyakit” masyarakat dalam arti kiasan atau metaforis.

Alienasi adalah keadaan di mana individu merasa terpisah dari dirinya sendiri, sesama manusia, dan dunia di sekitarnya. Ini adalah “penyakit” sosial yang terjadi akibat industrialisasi, konsumerisme, dan hubungan manusia yang didasarkan pada transaksi, bukan kasih sayang.

Fromm sering menyebut masalah modern ini sebagai patologi sosial, yaitu gangguan dalam struktur masyarakat yang menyebabkan tekanan psikologis, seperti kehilangan identitas, kecemasan, dan depresi.

Dalam Islam, kondisi seperti cinta dunia yang berlebihan (hubbud dunya), kesombongan (takabbur), iri hati (hasad), dan lalai dari mengingat Allah (ghaflah) dianggap sebagai penyakit hati. Penyakit ini menghalangi manusia untuk mencapai kebahagiaan sejati dan mendekat kepada Allah.

Apalagi “Hubbud Dunya” (Cinta Dunia Berlebihan). Ketika cinta terhadap materi dan duniawi menguasai hati seseorang, ini bisa membawa pada ketidakseimbangan hidup dan menjauhkan dari nilai-nilai spiritual. Dan “Futuur Ruhani” (Kekeringan Spiritual), keadaan jiwa yang kosong atau kering dari nilai-nilai spiritual akibat terlalu sibuk dengan urusan duniawi.

Kedua perspektif ini sepakat bahwa ketidakseimbangan dalam memprioritaskan nilai material dan spiritual dapat dianggap sebagai “penyakit” yang harus diatasi. Dalam dunia modern, penyembuhan mungkin melibatkan rekoneksi dengan nilai-nilai luhur, baik melalui pengembangan pribadi, spiritualitas, maupun transformasi sosial.

“…Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman: 18). Ayat ini memperingatkan manusia agar menjauhi sifat sombong karena Allah tidak menyukai sifat tersebut.

Cinta Dunia yang Berlebihan (Hubbud Dunya). “Ketahuilah, bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak… Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid: 20). Ayat ini menunjukkan bahwa cinta dunia yang berlebihan adalah ilusi yang dapat melalaikan manusia dari tujuan utama hidup.

Kelalaian dari Mengingat Allah (Ghaflah), “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 19). Ayat ini mengingatkan tentang akibat melupakan Allah, yang menyebabkan kerugian bagi manusia sendiri.

Iri Hati (Hasad), “Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) karena karunia yang telah diberikan Allah kepadanya?” (QS. An-Nisa: 54). Ayat ini mencela sifat iri hati yang dapat merusak hubungan manusia.

Rasulullah SAW bersabda, “Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” Kemudian ada yang bertanya, ‘Bagaimana dengan seseorang yang suka memakai pakaian dan sandal yang bagus?’ Rasulullah menjawab, ‘Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.’” (HR. Muslim)

Rasulullah SAW bersabda, “Cinta dunia adalah pangkal segala keburukan” (HR. Baihaqi). Hadis ini menunjukkan bahwa cinta dunia yang berlebihan menjadi sumber dari berbagai masalah spiritual dan moral.

Kelalaian dan Lalai dari Zikir, “Perumpamaan orang yang berzikir kepada Tuhannya dengan orang yang tidak berzikir seperti orang hidup dan mati” (HR. Bukhari). Hadis ini menggambarkan betapa pentingnya mengingat Allah untuk menjaga hati tetap hidup.

Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kamu saling mendengki, saling membenci, dan saling membelakangi. Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara” (HR. Bukhari dan Muslim).

Baik ayat Al-Qur’an maupun hadis menekankan pentingnya menjaga hati dari penyakit seperti kesombongan, cinta dunia berlebihan, kelalaian, dan iri hati. Penyakit hati ini dapat diatasi melalui introspeksi, zikir, memperbanyak amal baik, dan menjaga hubungan yang harmonis dengan Allah serta sesama manusia.

Mengobati “penyakit” yang digambarkan oleh Erich Fromm dan dalam Islam membutuhkan langkah yang melibatkan transformasi diri baik secara filosofis maupun spiritual. Fromm menekankan pentingnya beralih dari pola hidup yang berbasis “having” (kepemilikan) ke “being” (keberadaan). Untuk mengobati penyakit seperti alienasi, materialisme, dan kehilangan makna hidup, ia menawarkan beberapa solusi.

Mengembangkan Cinta Kasih Sejati

Menurut Fromm, cinta adalah kekuatan tertinggi untuk mengatasi isolasi dan alienasi. Cinta yang dimaksud bukan sekadar emosi, tetapi tindakan aktif yang melibatkan perhatian, tanggung jawab, dan penghormatan terhadap orang lain.

Hidup Secara Kreatif

Fromm mendorong manusia untuk menemukan makna melalui kreativitas, baik dalam seni, pekerjaan, atau hubungan. Hidup secara kreatif adalah cara untuk melampaui rutinitas dan menghadirkan kebaruan yang bermakna.

Menumbuhkan Kesadaran Diri

Refleksi mendalam tentang siapa kita dan apa yang kita cari dalam hidup membantu mengatasi kehilangan identitas. Dengan mengenal diri sendiri, manusia dapat membangun hubungan yang lebih otentik dengan orang lain.

Menyeimbangkan Teknologi dan Nilai Kemanusiaan

Fromm percaya bahwa manusia modern harus mengendalikan teknologi, bukan dikuasai olehnya. Ini berarti menggunakan teknologi untuk memperkuat hubungan manusia dan mendukung kesejahteraan masyarakat.

Penyakit hati seperti cinta dunia, iri hati, dan kelalaian dari mengingat Allah dapat diobati melalui jalan tazkiyah an-nafs (penyucian jiwa).

1. Memperbanyak Zikir kepada Allah. Zikir menghidupkan hati dan mengingatkan manusia akan tujuan utama kehidupan. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, “Hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28)

2. Menguatkan Hubungan dengan Al-Qur’an dan Sholat. Membaca Al-Qur’an, merenungkan maknanya, dan menjaga sholat dengan khusyuk adalah cara yang efektif untuk membersihkan hati dari penyakit. Sholat juga membantu menjaga fokus pada Allah dan mengurangi keterikatan pada dunia.

3. Menanamkan Sifat Zuhud. Zuhud tidak berarti meninggalkan dunia sepenuhnya, tetapi melepaskan keterikatan terhadapnya. Rasulullah SAW bersabda, “Zuhud di dunia bukan berarti kamu mengharamkan yang halal atau menyia-nyiakan harta, tetapi zuhud di dunia adalah engkau lebih percaya kepada apa yang ada di sisi Allah daripada apa yang ada di tanganmu.” (HR. Ahmad)

4. Bergaul dengan Orang-orang Saleh. Lingkungan yang baik membantu menguatkan iman. Teman yang saleh akan menginspirasi dan mendukung dalam memperbaiki diri.

5. Memperbanyak Amal Saleh dan Sedekah. Rasulullah SAW mengajarkan bahwa sedekah dapat memadamkan api dosa dan membersihkan hati. Amal saleh juga membantu manusia merasakan kebahagiaan sejati karena mendekatkan kepada Allah.

6. Melakukan Muhasabah (Introspeksi Diri). Memeriksa diri sendiri setiap hari untuk melihat apakah ada perilaku atau niat yang perlu diperbaiki. Rasulullah bersabda, “Orang yang cerdas adalah orang yang selalu mengevaluasi dirinya dan beramal untuk bekal setelah mati.” (HR. Tirmidzi)

Pendekatan Fromm yang berfokus pada cinta, kreativitas, dan kesadaran diri dapat berpadu dengan nilai-nilai Islam seperti zikir, zuhud, dan muhasabah. Keduanya menawarkan jalan menuju transformasi diri yang mendalam. Fromm berbicara tentang memulihkan makna dalam kehidupan modern, sementara Islam memberi panduan spiritual yang kokoh.

Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)

Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya; dan jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)

“Seandainya kiamat hendak terjadi sementara di tangan salah seorang di antara kalian ada bibit kurma, maka jika ia mampu menanamnya sebelum kiamat terjadi, hendaklah ia menanamnya.” (HR. Ahmad)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *