Gema Manusia yang Lalai
Para sufi membaca doa orang mati dalam Q.S. al-Mu’minūn [23]:99–100 bukan sekadar kisah pascakematian, melainkan gema batin manusia yang lalai. Saat jiwa berkata, “Ya Tuhanku, kembalikanlah aku,” itu bukan hanya suara penghuni kubur, tetapi juga bisikan hati setiap manusia yang menunda kesadaran. Dalam diri orang yang masih hidup pun, gema itu terdengar setiap kali ia berkata, “Nanti saja aku bertobat,” atau, “Masih ada waktu.”¹
Menurut al-Qusyairī, ayat ini menyingkap keadaan ghaflah—kelalaian spiritual yang membuat manusia hidup tanpa sadar akan hakikat hidupnya.² Sedang Ibn ‘Aṭā’illah menegaskan, penundaan taubat adalah bentuk halus dari keangkuhan jiwa: berharap umur panjang tanpa menjadikan waktu sekarang sebagai ruang hadir bersama Allah.³
Dengan demikian, “doa ingin kembali” bukanlah harapan masa depan, tetapi cermin dari kesadaran yang belum terjaga kini. Siapa yang mendengarnya saat masih hidup, sesungguhnya telah dijawab sebelum mati.
NOTES
¹ al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, juz 18 (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1987), 85–86.
² al-Qusyairī, Laṭā’if al-Ishārāt, juz 3 (Kairo: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000), 112.
³ Ibn ‘Aṭā’illah, al-Ḥikam al-‘Aṭā’iyyah (Kairo: al-Maktabah al-Taufīqiyyah, t.t.), 47.
BIBLIO
al-Qusyairī, Abū al-Qāsim. Laṭā’if al-Ishārāt. Juz 3. Kairo: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000.
al-Ṭabarī, Muḥammad ibn Jarīr. Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān. Juz 18. Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1987.
Ibn ‘Aṭā’illah al-Sakandarī. al-Ḥikam al-‘Aṭā’iyyah. Kairo: al-Maktabah al-Taufīqiyyah, t.t.

