Menutup Hari dengan Isya
Hari telah usai. Hiruk-pikuk dunia mereda, lampu-lampu kota masih menyala, tapi hati manusia mulai mencari tempat beristirahat. Di kegelapan malam, seorang hamba berdiri, mengangkat tangannya, lalu berucap: “Allāhu Akbar.”
Shalat Isya menjadi tanda ia menyerahkan seluruh dirinya. Segala penat, ambisi, bahkan kegelisahan ditaruh di hadapan Allah. Saat ia rukuk, egonya ditundukkan. Saat ia sujud, wajahnya benar-benar menyentuh bumi, seolah berkata: “Ya Allah, aku ini hamba-Mu, tak punya daya kecuali dari-Mu.”
Malam itu sunyi. Ia sadar, beginilah nanti di alam kubur: sepi, gelap, dan hanya amal yang menemaninya. Shalat Isya mengajarinya arti menyerah, bukan kalah—melainkan tenang dalam pelukan Tuhan.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
“Barangsiapa shalat Isya berjamaah, maka seakan-akan ia telah shalat setengah malam; dan barangsiapa shalat Subuh berjamaah, maka seakan-akan ia telah shalat sepanjang malam.” (HR. Muslim)
Seolah Allah memberi kabar: siapa yang menyerahkan malamnya pada-Ku, Aku hitung ibadahnya seperti setengah malam penuh. Karena dalam kegelapan Isya, terang ruhani sedang dilahirkan.

