Tag Archive for: Spiritual Islam

Gelombang Gamma di Ambang Mati

Sejumlah penelitian neurosains mutakhir menunjukkan bahwa sesaat menjelang kematian, otak manusia justru memperlihatkan lonjakan aktivitas listrik berfrekuensi tinggi—gelombang gamma—yang biasanya terkait dengan kesadaran penuh, memori, dan pengalaman transenden.¹ Temuan ini menggeser pandangan lama bahwa kesadaran berhenti seiring henti jantung. Sebaliknya, lonjakan itu tampak seperti kilatan terakhir kesadaran, ketika seluruh pengalaman hidup seolah berputar kembali dalam sekejap.

 

Visualisasi aktivitas listrik di otak manusia (EEG) menunjukkan peningkatan gelombang gamma sesaat setelah henti jantung. Area merah menandai peningkatan konektivitas antar wilayah kesadaran.

 

Dalam kerangka Qur’ani, momen ini mengingatkan pada firman, “Dan ditiuplah sangkakala, maka terputuslah segala hubungan; setiap jiwa mengetahui apa yang telah dikerjakannya” (Q.S. al-Takwīr [81]:1–14). Sufi menafsirkan seruan ini bukan hanya sebagai peristiwa kosmik, melainkan sebagai gema batin manusia yang lalai—saat kesadaran dipanggil untuk melihat dirinya tanpa tabir.

Dalam pandangan sufistik, momen menjelang kematian bukanlah sekadar akhir biologis, melainkan titik penyatuan kesadaran. Lonjakan gelombang gamma dapat dibaca sebagai citra biologis dari keadaan itu—puncak di mana seluruh lapisan jiwa, memori, cinta, dan penyesalan berpadu dalam satu kilatan makna. Dalam istilah William Chittick, inilah saat “tabir bentuk tersingkap” dan kesadaran beralih dari dunia citra menuju medan makna yang lebih hakiki, tempat jiwa menyaksikan Realitas sebagaimana adanya.²

¹ Jimo Borjigin et al., “Surge of Gamma Oscillations in the Dying Human Brain,” Proceedings of the National Academy of Sciences 120, no. 15 (2023): e2216268120.
² Diadaptasi dari William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabī’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), 390; dan The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabī’s Cosmology (Albany: State University of New York Press, 1998), 202.

BIBLIO

Borjigin, Jimo, et al. “Surge of Gamma Oscillations in the Dying Human Brain.” Proceedings of the National Academy of Sciences 120, no. 15 (2023): e2216268120.
Chittick, William C. The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabī’s Metaphysics of Imagination. Albany: State University of New York Press, 1989.
——. The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabī’s Cosmology. Albany: State University of New York Press, 1998.
Al-Qur’an al-Karīm, Surah al-Takwīr [81]: 1–14.

Mereka yang Diberi Nikmat

“Ṣirāṭ al-Ladhīna An‘amta ‘Alayhim.” Siapa “orang-orang yang diberi nikmat” dari “jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat.” Dalam kerangka filsafat Islam, “an‘amta ‘alayhim” bisa dimaknai sebagai makhluk yang mencapai kesempurnaan eksistensial dan golongan yang disebut dalam QS An-Nisa: 69.

1. Makhluk yang mencapai kesempurnaan eksistensial

Nikmat di sini bukan hanya materi atau kenikmatan duniawi, tapi nikmat tertinggi berupa hidayah dan kesempurnaan wujud. Mereka adalah orang-orang yang telah menyempurnakan potensi akalnya, mengenal Tuhan secara rasional dan eksistensial. Jadi, “orang-orang yang diberi nikmat” adalah mereka yang telah menyatu dengan tujuan penciptaan, bukan sekadar orang baik secara moral.

2. Golongan yang disebut dalam QS An-Nisa: 69

“…maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: para nabi, para ṣiddīqīn, para syuhadā, dan orang-orang saleh…” Ayat ini bisa sebagai penjelasan eksplisit siapa yang dimaksud yakni mereka yang berada di puncak hierarki spiritual dan eksistensial.

Tafsiran Irfani (Spiritual-Mistik)

Dalam pendekatan irfani, “an‘amta ‘alayhim” bisa dilihat sebagai orang-orang yang telah mengalami tajalli (penyingkapan Ilahi) dan para salik yang telah mencapai maqam tertinggi

1. Orang-orang yang telah mengalami tajalli (penyingkapan Ilahi)

Mereka adalah para arif yang telah melampaui hijab dunia, menyaksikan hakikat Tuhan dalam segala sesuatu. Nikmat yang mereka terima adalah nikmat ma’rifah, bukan sekadar ilmu atau amal. Dalam irfan, nikmat tertinggi adalah fana’ fi Allah—lenyapnya ego dalam kehadiran Ilahi.

2. Para salik yang telah mencapai maqam tertinggi

Mereka telah melewati tahapan-tahapan spiritual: mujāhadah, tazkiyah, tajalli, hingga ittihād (kesatuan spiritual). Doa dalam Al-Fatihah adalah permohonan agar kita ditempatkan di jalan mereka, bukan hanya meniru mereka secara lahiriah.

Simbolik Rahmat dalam Ayat Ini: “An‘amta ‘alayhim” adalah simbol bahwa rahmat Allah tidak bersifat acak, tapi diberikan kepada mereka yang membuka diri secara total kepada-Nya—dengan akal, hati, dan amal.

Ihdinas-Siratal Mustaqim

Ayat “Ihdinas-siratal mustaqim” (Tunjukilah kami jalan yang lurus) dalam Surat Al-Fatihah adalah inti spiritual dari hubungan manusia dengan Tuhan.

Ayat ini bukan sekadar permintaan petunjuk, melainkan permohonan eksistensial yang mencerminkan perjalanan jiwa menuju kesempurnaan.

Tafsiran Filosofis

Dalam kerangka filsafat Islam, khususnya hikmah muta’aliyah (filsafat transenden), ayat ini bisa dilihat sebagai:

1. Permohonan untuk kesempurnaan wujud

“Sirat al-mustaqim” bukan hanya jalan moral atau sosial, tapi jalan ontologis—jalan menuju kesempurnaan eksistensi. Manusia, sebagai makhluk rasional dan spiritual, memohon agar dituntun dari wujud rendah (materi) menuju wujud tinggi (spiritual dan ilahi). Jadi, doa ini adalah permohonan untuk transformasi ontologis, bukan sekadar etika.

2. Petunjuk sebagai pancaran cahaya Ilahi

Hidayah dalam ayat ini dipahami sebagai nur (cahaya) yang memancar dari Tuhan ke dalam hati manusia. Jalan lurus adalah jalan yang mengarah langsung kepada Tuhan, tanpa penyimpangan, tanpa hijab. Dalam filsafat, ini disebut sebagai jalan tauhid, di mana segala sesuatu kembali kepada asalnya: Allah.

Tafsiran Irfani (Spiritual-Mistik)

Allamah Thabathabai juga dikenal sebagai seorang arif (sufi-filosof), dan dalam pendekatan irfani melihat, ayat ini memiliki makna yang lebih dalam:

1. Sirat sebagai jalan suluk (spiritual journey)

“Sirat al-mustaqim” adalah jalan para salik (penempuh jalan spiritual) menuju fana’ (lenyapnya ego) dan baqa’ (kekekalan bersama Tuhan). Doa ini adalah permohonan untuk dibimbing dalam perjalanan batin, melewati maqamat (tahapan spiritual) hingga mencapai ma’rifah (pengetahuan langsung tentang Tuhan).

2. Hidayah sebagai tajalli (manifestasi Tuhan)

Hidayah bukan hanya informasi atau arahan, tapi penyingkapan hakikat. Dalam irfan, hidayah berarti dibukakan tabir, sehingga hamba bisa melihat realitas Ilahi dalam segala sesuatu. Maka, doa ini adalah permohonan agar mata hati terbuka, bukan hanya pikiran.

“Ihdinas-siratal mustaqim” adalah permohonan total: akal, hati, dan ruh bersatu dalam satu seruan kepada Tuhan agar dituntun menuju hakikat tertinggi.