Kesesatan dalam Al-Fatihah
Antara Menolak Kebenaran dan Tidak Tahu Arah
Dalam setiap salat, kita membaca Surah Al-Fātiḥah berulang kali. Salah satu doa yang terkandung di dalamnya adalah “Ghayril-maghḍūbi ‘alayhim wa laḍ-ḍāllīn” (terhindar dari jalan orang yang dimurkai dan orang yang tersesat).
Sekilas, ayat ini terdengar sederhana: doa agar tidak mengikuti jalan orang yang salah. Namun, jika kita renungkan lebih dalam, ternyata ayat ini menyimpan dimensi filosofis dan spiritual yang sangat kaya.
Ada dua tipe kesesatan yang disebutkan: Al-Maghḍūb ‘alayhim (yang dimurkai) dan Al-Ḍāllīn (yang tersesat). Jika diterjemahkan ke dalam bahasa sehari-hari, kita bisa menyebutnya sebagai kesesatan aktif dan kesesatan pasif.
Di sinilah letak keindahan dan kedalaman doa dalam Al-Fātiḥah. Ia bukan hanya permohonan sederhana, melainkan sebuah refleksi mendalam tentang bagaimana manusia bisa tergelincir dari jalan lurus—baik karena kesombongan maupun karena kebodohan.
Kesesatan Aktif: Menolak Kebenaran dengan Sengaja
Jenis pertama adalah kesesatan aktif—Al-Maghḍūb ‘alayhim. Ini adalah mereka yang mengetahui kebenaran, tapi memilih menolaknya.
Bayangkan seseorang yang sudah tahu jalan ke rumahnya, bahkan sudah hafal rute dan tanda-tandanya, tetapi dengan sengaja mengambil arah berlawanan. Mengapa? Karena keras kepala, sombong, atau tidak mau menerima kenyataan bahwa ada jalan yang lebih benar.
Dalam filsafat eksistensial, sikap ini disebut sebagai penyimpangan dari fitrah dengan kehendak bebas. Ia bukan sekadar salah karena tidak tahu, tetapi salah karena menolak untuk mengikuti yang benar.
Dalam kehidupan sehari-hari, bentuk kesesatan aktif ini sangat nyata. Seseorang yang tahu aturan lalu lintas, tapi sengaja melanggar demi gengsi dan orang yang sudah tahu bahwa korupsi adalah kejahatan, tapi tetap melakukannya karena rakus.
Bahkan dalam era digital, kita sering melihat orang yang tahu sebuah berita adalah hoaks, tapi tetap menyebarkannya karena sesuai dengan kepentingan pribadi atau kelompok.
Kesesatan aktif lahir dari kesombongan. Dalam istilah irfani (spiritual), ini disebut hijab kibr—penghalang berupa ego dan keangkuhan. Ia menjadi hijab yang paling berat karena menutup mata hati dari cahaya kebenaran.
Kesesatan Pasif: Hilang Arah karena Tidak Tahu
Jenis kedua adalah kesesatan pasif—Al-Ḍāllīn. Mereka bukan orang yang menolak kebenaran, melainkan orang yang tidak tahu jalan menuju kebenaran.
Analogi sederhananya: seseorang yang tersesat di hutan karena tidak punya peta. Ia tidak bermaksud melawan arah, hanya saja ia tidak tahu harus berjalan ke mana.
Dalam filsafat, ini disebut kekurangan epistemik—keterbatasan dalam pengetahuan. Kesalahan ini bukan lahir dari kebencian pada kebenaran, tetapi dari ketidaktahuan.
Dalam kehidupan modern, kesesatan pasif bisa kita lihat dalam banyak hal. Orang yang termakan berita palsu karena tidak tahu cara memverifikasi informasi. Anak muda yang salah memilih jalan hidup karena kurang bimbingan.
Masyarakat yang salah paham tentang suatu ajaran karena hanya mendapat potongan informasi tanpa pemahaman menyeluruh.
Dalam perspektif irfani, ini disebut hijab jahl—penghalang berupa kebodohan. Kabar baiknya, hijab ini bisa diangkat dengan ilmu dan bimbingan. Artinya, ada harapan besar bagi mereka yang tersesat pasif untuk kembali ke jalan lurus.
Jalan Lurus: Lebih dari Sekadar Bergerak
Dengan menyebut dua jenis kesesatan ini, Al-Fātiḥah memberi pesan penting: jalan lurus bukan hanya soal bergerak, tapi juga soal arah dan niat.
Seseorang bisa berjalan dengan cepat, penuh semangat, tapi kalau arahnya salah, ia hanya akan semakin jauh dari tujuan. Sebaliknya, ada orang yang berjalan pelan tapi ke arah yang benar, akhirnya ia sampai di tujuan yang sesungguhnya.
Di sinilah doa dalam Al-Fātiḥah menjadi begitu relevan. Kita bukan hanya meminta ditunjukkan jalan lurus, tetapi juga memohon agar tidak menjadi: Orang yang tahu kebenaran tapi menolak (aktif) dan orang yang tidak tahu kebenaran dan tersesat (pasif).
Relevansi dengan Kehidupan Modern
Mari kita tarik makna ini ke dalam realitas zaman kita. Kesesatan Aktif di era digital dan kesesatan pasif di kehidupan sosial.
Kesesatan Aktif di Era Digital. Banyak orang menyebarkan kebencian, hoaks, atau propaganda meski mereka tahu itu salah. Ada orang yang tahu polusi merusak bumi, tapi tetap melakukannya demi keuntungan jangka pendek. Ada pemimpin yang tahu pilihannya merugikan rakyat, tapi tetap memaksakannya demi ambisi.
Kesesatan Pasif di Kehidupan Sosial. Warga yang percaya berita palsu karena tidak punya akses literasi digital. Generasi muda yang kehilangan arah karena minim teladan positif. Orang-orang yang hidup dalam “kabut informasi”, tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Jika kita lihat, masalah utama manusia modern sering kali berputar di antara dua kesesatan ini: kesombongan yang membuat kita menolak kebenaran, dan kebodohan yang membuat kita bingung arah.
Refleksi Spiritual: Melawan Ego, Mencari Ilmu
Dari sini kita belajar bahwa doa dalam Al-Fātiḥah adalah sebuah permohonan eksistensial. Ia tidak hanya berbicara soal masa lalu umat tertentu, tapi juga kondisi manusia di segala zaman—termasuk kita.
Pesan spiritualnya sederhana namun mendalam:
Jika kita terjebak dalam kesesatan aktif, maka obatnya adalah kerendahan hati. Mengakui kesalahan, menundukkan ego, dan membuka diri pada kebenaran.
Jika kita terjebak dalam kesesatan pasif, maka obatnya adalah ilmu. Mencari pengetahuan, belajar dari guru, membaca dengan kritis, dan tidak mudah puas dengan setengah kebenaran.
Jalan lurus bukanlah jalan instan, melainkan perjalanan panjang yang menuntut kita terus-menerus mencari, mengoreksi diri, dan rendah hati di hadapan kebenaran.
Sebuah Pertanyaan untuk Diri Sendiri
Setiap kali kita membaca doa dalam Al-Fātiḥah, kita sebenarnya sedang bercermin. Kita bertanya pada diri sendiri:
Apakah aku sedang menjadi orang yang tahu kebenaran tapi sengaja menolak (aktif)? Ataukah aku sedang menjadi orang yang tersesat karena tidak tahu arah (pasif)?
Dari pertanyaan inilah kita bisa mulai memperbaiki diri. Karena “jalan lurus” bukan sekadar rute, melainkan kesadaran, kerendahan hati, dan pencarian tanpa henti.
Semoga kita semua selalu dijauhkan dari dua jenis kesesatan itu, dan tetap istiqamah di jalan lurus yang diridai Allah.




IstockPhoto
iStock Photo
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!